SALAM PAPUA (TIMIKA) - Tanggal 23 Juli 2024 lalu diperingati sebagai Hari Anak Nasional di Indonesia. Perayaan ini selalu diperingati setiap tahunnya dengan berbagai cara. Hari Anak Nasional menyimpan sederet makna mendalam.  Perjuangan dan hak anak-anak di Indonesia, yang mencakup nama dan kewarganegaraan, kebangsaan, persamaan dan non-diskriminasi, perlindungan, pendidikan, bermain, rekreasi, hak akan makanan, kesehatan serta hak berpartisipasi dalam pembangunan.

Juga perlindungan anak-anak Indonesia, yakni hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang; hak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosial; hak atas pemeliharaan dan perlindungan sejak masa kandungan dan setelah dilahirkan; hak atas perlindungan terhadap lingkungan yang bisa membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan.

Bagaimana dengan nasib anak-anak di Mimika khususnya masyarakat asli Papua. Ada yang tinggal di pegunungan dan juga di pesisir pantai serta di perkotaan atau pinggiran. Bagaimana dengan kehidupan mereka saat ini, apakah pemerintah sudah cukup memperhatikan mereka lewat pendidikan, kesehatan dan didukung perekonomian orang tua mereka, sehingga mampu mendidik mereka agar menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas di masa depan.

Bagi anak-anak yang memiliki orang tua dengan pekerjaan yang baik, anak-anak tentu bisa menikmati kehidupan yang baik, bisa bersekolah dan memperoleh makanan yang sehat. Bagaimana dengan anak yang tidak seberuntung itu?

Jika melihat kehidupan anak-anak di pesisir dan pegunungan, mereka bisa hidup nyaman bersama keluarga, karena berkat kerja keras para orang tua, semua kebutuhan dasar hidup mereka cukup meski sederhana. Pemerintah Kabupaten Mimika dengan APBD Rp 7,5 triliun seharusnya harus terus mengintervensi kebijakan terutama soal hak-hak anak di daerah masing-masing sehingga mereka memperoleh kehidupan yang layak, hidup sehat serta mampu mengenyam pendidikan yang lebih baik ke depan.

Kalau di pedalaman, anak-anak bisa hidup baik karena diperhatikan oleh orang tua mereka meski dengan fasilitas sederhana, namun justru di perkotaan seperti di Timika, masalah sosial anak layak diseriusi. Pasalnya, banyak anak yang berkeliaran baik dari pagi, siang apalagi malam hari dan tidak memperoleh hak-hak mereka sebagai anak.

Salah satu contoh adalah anak-anak yang sering disebut Anak Aibon. Entah sejak kapan istilah bagi anak-anak ini mulai disematkan. Mungkin istilah ini kejam, namun yang jelas berkaitan erat dengan lem kuat yang sering disebut lem Aibon. Anak-anak biasanya ditemukan dalam kondisi ngelem atau menghirup lem.

Padahal lem Aibon mengandung senyawa toluene. Dalam industri, senyawa ini biasa digunakan sebagai lem, bahan baku cat, tinta, penghapus makeup, ataupun sejumlah produk kimiawi. Tolune inilah yang memberi aroma kuat pada lem aibon.

Toluene yang juga disebut metil benzena merupakan cairan yang mudah terbakar dan tidak larut dalam air jernih dengan bau khas pengencer cat. Zat ini juga ditemukan dalam bensin, cat semprot aerosol, cat dinding, pernis, strip cat, perekat, tinta cetak, dan di knalpot mobil dan asap dari rokok.

Aromanya begitu menyengat, bikin lemas dan bisa berhalusinasi jika keseringan atau kelamaan mencium aromanya. Bagi anak-anak di jalanan Kota Timika, lem ini seolah jadi ciri mereka. Ketika mereka berjalan, pasti di tangannya dan diselipkan di dalam ketiak baju sambil dicium. Ketika sudah dalam kondisi mabok lem yang bebas dijual ini, perilaku mereka jelas bukan lagi seperti anak-anak yang sehat dan normal.

Mereka mulai agresif namun cuek, tidak peduli lingkungan, tidak merasa takut dan tinggal tidak menentu. Pandangan mata mereka kosong, pakaian seadanya dan berbagai perilaku menyimpang lain, seperti merokok dan bukan tidak mungkin melakukan tindakan kriminal. Hal itu bukan hal baru lagi. Dalam percakapan dengan mereka, jelas mereka tidak diperhatikan atau dibiarkan bebas oleh orang tua mereka. Ada juga yang datang dari pesisir bahkan dari kabupaten lain seperti Asmat dan mencoba mencari keberuntungan di Timika yang dijuluki Kota Dollar. Dalam sebuah percakapan, mereka umumnya mengaku tidak dicari orang tua, tidak disediakan makanan dan tidak diajari bagaimana agar bersekolah. Kasihan mereka.

Sebenarnya ini menjadi tanggung jawab bersama semua stakeholder mulai dari pemerintah, swasta, LSM, lembaga agama dan lebih utamanya keluarga tentunya. Anak-anak ini seharusnya tidak dibiarkan hidup tak beraturan, namun dirangkul kembali. Dididik dan dimanusiakan, sebab mereka berhak mendapatkan kehidupan yang layak dan kelak menjadi penerus bangsa ini ke depan.

Anak-anak Mimika sebagai daerah penghasil emas dan tembaga serta lainnya, sudah waktunya diperjuangkan. Bukan lagi hanya sekedar bisa makan, sekolah namun juga harus memiliki fasilitas bermain yang aman atau ada zona aman bagi anak. OPD-OPD teknis yang ada sudah selayaknya mengingat bahwa anak-anak ini harus terus dilindungi hak-haknya.

Hari Anak Nasional juga, bukan lagi hanya terpusat di perkotaan, namun pemerintah harus menerjemahkan semua makna Hari Anak Nasional tersebut menjadi nyata dalam kehidupan semua anak Mimika dan Papua secara luas dan Indonesia. Tidak ada lagi anak aibon, tidak ada lagi yang tidak bersekolah, anak kekurangan gizi dan hidup di luar rumah dan jauh dari keluarga. Mari kita membangun kesadaran ini, dan selamatkan seluruh generasi di tanah yang diberkati dengan sumber daya alam yang melimpah ini sehingga anak-anak kita ini menjadi generasi harapan bangsa. Amole, Nimaowitimi, Saipa. Salam Papua, Kritis, Objektif, Akrab dan Bermartabat.

Penulis/Editor: Sianturi